14 March 2017

Berkunjung ke desa benowo purworejo

📷 denai guna

Hari sudah gelap saat sha dan teman-teman #famtripjateng turun dari gardu pandang jawa tengah dan kembali naik bus. Malam ini kami akan menginap di salah satu desa di kota purworejo yaitu desa benowo. Selama perjalanan sha tertidur, sampai akhirnya dibangunkan dan kami kembali berpindah dengan menggunakan mobil kecil. Jalan yang gelap membuat sha dan teman-teman terlelap. Satu jam kemudian mobil berhenti dan saat sha keluar dari mobil, seolah-olah sha ditarik ke masalalu. Masyarakat menyambut kami, ibu-ibu, bapak-bapak, remaja bahkan sampai anak-anak berdiri di pinggir jalan. Beberapa alat musik diteras sebuah rumah. Kami dipersilahkan untuk masuk oleh seorang wanita yang nantinya sha tahu bahwa ibu adalah istrinya pak lurah.

Seorang remaja membagikan bungkusan berisi berbagai macam makanan khas desa benowo. Namun sayang, sepertinya saat itu perut sha kembung karena telat makan siang pas rafting dan gak pake jaket pas di gardu pandang. Sha cuma mencicipi saja dan minum baceng. Awalnya sha kira baceng harus menggunakan gula kembali karena tersedia gula tepat disamping teko. Ternyata sha salah, sha gak perlu lagi nambahin gula. Baceng ini terbuat dari air nira dan cengkeh, penduduk setempat mengambil nira sehari dua kali setiap pagi dan sore. Sha sempat bertanya apakah baceng bisa dibawa pulang? dimana tempat membeli atau adakah ekstrak nya seperti teh yang tinggal diseduh? Dan baceng menjadi begitu spesial karena memang hanya ada di Benowo, tidak bisa dibawa pulang dan tidak ada ekstraknya. Sha suka banget sama baceng, manisnya air nira yang khas dengan hangatnya cengkeh itu seperti melihat senyum kamu, manis dan bikin hati hangat *apaanini* ahaha

Setelah sambutan dan pembukaan, sha dan teman-teman dipersilahkan untuk makan malam. Dengan perut seperti itu tadinya sha gak akan makan. Lalu ibu lurah mengajak ngobrol dan menjelaskan mengenai hidangan yang disediakan salah satunya buntil dan lompong. Dan meminta sha untuk makan, lihat ekspresi wajah ibu jadinya sha makan, terbayang berapa lama ibu masak. Buntil yang berupa daun talas dan lompong dari batang talas sudah tidak asing karena bagi kami warga sunda terbiasa membuat masakan tersebut bahkan dengan nama hidangan yang sama. Namun ternyata cita rasanya jauh berbeda. Buntil di benowo dicampur dengan tahu dan dibentuk bulat sempurna dengan rasa gurih, pedas dan manis. Sedangkan masakan Sunda, daun diikat dengan rasa daun yang agak pahit dan pedas.

Suara dari alat-alat musik tradisional menemani penghujung hari itu, Sha melihat bagaimana lincahnya alat-alat itu dimainkan. Seorang pria bernyanyi yang entah apa artinya. Dua orang anak kecil menari disamping sha duduk, beberapa anak duduk diteras, mengobrol dan tertawa. Gerimis mulai turun dan kabut menyelimuti, empat pria datang dengan pakaian tradisional dan sebuah kuda bohongan persis seperti di kuda lumping. Mereka menari, kaki yang kokoh dan gerakan yang khas. Tiba-tiba lampu padam dan terasa mistis. Padahal karena listrik yang tak kuat. Tarian tetap berlanjut dibawah cahaya yang samar-samar. Like a magic, budaya kita dan segala halnya membuat sha takjub dan tidur dengan nyenyak hari itu.

Sha bangun esoknya, bergegas mandi karena akan melihat sunrise di gunung kunir. Dingin tak dirasa, saking semangatnya. Sha lihat baru beberapa orang yang bangun. Sha pun merasa santai dan sempat membersihkan sepatu yang terinjak-injak. Tak lama, datang ojeng yang mengantarkan sha ke gunung kunir dan beberapa tempat wisata lain di desa benowo.

Sekembalinya ke homestay, sha mengantri mandi dan melihat seorang anak kecil duduk didekat kolam bernama nina. Nina yang baru berusia empat tahun sudah lancar berbahasa indonesia, kami menghitung jumlah ikan yang ada didalam kolam, membicarakan sekolah paudnya, memberi makan ikan dengan lumut pada batubata, nina menanyakan apa yang keong makan lalu kami membahas perbedaan lumut di kolam dan di batubata dan takjubnya nina dengan mudah mengerti. Sampai akhirnya nina memberi sha sebuah penyataan, bahwa cita-citanya ingin menjadi anak shalehah. Pernyataan tersebut terngiang-ngiang bahkan sampai perjalanan pulang. Saat dimana kita sebagai orang dewasa yang terkadang stuck dengan bebagai macam hal duniawi, mengingatkan sha akan apa, bagaimana dan kemana akhir dari perjalanan hidup didunia ini. Semoga kelak sha dan nina, bisa menjadi anak shalehah dan bermanfaat bagi banyak orang.

16 comments

  1. pengen ke sini lagiii. nginep sini lagiii :(

    ReplyDelete
  2. Ahahaa aku pengen ke situ lagi juga, tapi bawa ngecamp di bukut kunirnya...ahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. yukyuuk. seru kayaknyaa :) tapi camp sha lebih tertarik di sawangan :D

      Delete
  3. Selalu suka deh tentang post nuansa alam gini, bikin semangat ngumpulin biaya buat jalan - jalan hehehe

    ReplyDelete
  4. jalan2 tu emang asyik yaa, jd kenal daerah lain plus budaya masyarakat setempat

    ReplyDelete
  5. Aamiin..insyaAllah kita semua menjadi anak yang shalehah ya..

    ReplyDelete
  6. Wah menyenangkan sekali penyambutannya, Sha. Ada kesenian dan kuliner khas-nya.

    ReplyDelete
  7. aku punya temen di desa benowo Purworejo, duh jadi kangen masa-masa kuliah dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, asyik banget! coba sekali2 ke sana mak.

      makasih ya udah mampir sini :)

      Delete
  8. sepintas kirain Benowo surabaya karena disini juga ada daerah namanya Benowo ternyata bukan ya

    ngomong2 jadi penasaran pas ada makanan2 khas benowo itu sayang fotonya nggak dibagi di posting ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, benowo ini kan diambil dari nama pangeran :)

      hehe, sha ga foto2. coba di search aja :)

      Delete

© Vanisa Desfriani. Design by FCD.